Sunday, January 15, 2012

Kisah pembebasan Imaduddin Abdurahim dari penjara PANGKOMKAMTIB

From: Supriadi Legino
Sender: ITB74@yahoogroups.com
Date: Sun, 15 Jan 2012 23:09:14 +0700
To:
ReplyTo: ITB74@yahoogroups.com
Subject: [ITB74] Saya, Agus Darmadi, diantara Sudomo dan Imaduddin

Rehat dulu yu!! diskusinya HGS dan para Ustadz agak berat kayaknya.......

Supriadi dan Agus Darmadi diantara Sudomo dan Imaduddin

Kisah ini sekedar nostalgia paska revolusi 1978 di kampus ITB yang ingin saya ceritakan sebelum rekaman dalam memori saya semakin banyak yang tergerus karena usia. Saya kira tidak banyak orang ITB yang mengetahui sempalan kehidupan kampus ini selain para pelaku yaitu saya dan Agus Darmadi dari ITb EL 74, Dr. KT Ing Sirait yang Kajur Elektro, Dr. Sudjana Sapiie yang ketua Rektorium waktu itu, Almarhum yang kita cintai Prof. Dr. Doddy Tisna Amijaya yang saat itu menjabat Dirjen Dikti, Pangkopkamtib Sudomo, almarhum bang Imad sendiri beserta istri beliau. Bahkan mungkin para pelakunya sendiri sudah lupa atas kisah yang tersisih ini.

Pagi itu saya yang sekretaris umum HME sedang merapikan berbagai dokumen dan peralatan himpunan yang terasa masih semrawut setelah digunakan untuk perjuangan melawan tirani yang walaupun gagal secara fisik pada saat itu tapi secara moral berhasil menggulingkan tirani orde baru melalui reformasi dua puluh tahun kemudian. Satu unit televisi 14 inci merk Sanyo dan sebuah gitar Hoffner yang saya bawa dari rumah untuk hiburan teman-teman yang piket siaga ketika itu baru hari ini rencananya akan saya bawa pulang karena anak-anak elektro sudah mulai kuliah lagi setelah dicabutnya aksi mogok sebulan yang lalu.

Nampaknya perjuangan anak-anak itb untuk sementara sudah selesai, teman-teman yang sempat ditahan baik yang diciduk tibum maupun yang disortir di kampus sudah semuanya dibebaskan kecuali mereka yang harus disidangkan karena memproklamirkan DPRS seperti Al Hilal, Ramses, Indro Cahyono, dan sisanya saya lupa. Saya sendiri secara mujur tidak ditahan walaupun kepergok membawa notulen rapat siaga karena yang mensortir saya di kampus kebetulan anggota RPKADyang pro mahasiswa, dan ketika aksi lempar poster di pohon saya selamat dari kejaran Tibum karena berkat Vespa sakti saya sempat menyelinap ke Jalan Merdeka Lio setalah balapan dengan mobil tibum di Wastu Kencana. Nggak percuma saya kan anak Bandung yang hapal liku-liku sampai gang-gang dan branhang di kota Kembang tempat lahirku . Saya termasuk orang yang beruntung bisa mengalami langsung dua kali penyerbuan kampus, yang pertama kampus diduduki secara santun oleh pasukan Siliwangi yang menganggap mahasiswa ITB sebagai sedulur, dan yang kedua penyerbuan brutal karena konon dilakukan oleh pentol korek yang baru pulang dan selamat dari pembantaian di Timor Timur, wallahu alam. Saya sempat merinding bila teringat bahwa saking emosinya melihat cewek itb anak 75 pujaan saya (beraninya dalam hati saja sih) kena tendang sepatu lars hampir saja keluar penyakit nekat saya untuk menggelindingkan kapasitor yang telah saya isi tegangan tinggi 300 ribu volt (mentang mentang asisten lab tegangqan tinggi) ke tengah tengah para budugul cepak yang tidak punya perasaan itu. Kecolek sedikit saja kapasitor itu, prajurit-prajurit pentol korek itu dijamin garing. Untung saja kunci laboratoriumnya ketinggalan di bagasi Vespa yang diparkir jauh di halaman HME, sehingga tragedi besar tersebut tidak terjadi.

Lepas dari lamunan tersebut saya mulai membuka lagi ketikan skripsi yang sempat saya tinggalkan selama revolusi berlangsung. Ternyata saya harus beli tip-ex karena masih banyak salah ketik dan terjemahan bebas yang kurang pas, padahal besok hari saya sudah buat janji untuk konsultasi dengan pembimbing utama yaitu pak Sirait. Teringat akan dosen pembimbing, tiba-tiba muncul dalam benak saya nama Imaduddin sebagai salah satu dosen senior yang lebih dari satu tahun statusnya masih dalam tahanan Kopkamtib padahal seluruh tahanan ITB lainnya sudah dibebaskan atau di vonis di pengadilan. Rasa tanggung jawab sebagai pimpinan mahasiswa elektro mendorong saya untuk membicarakan cara pembebasan bang Imad ini kepada pak Sirait sebagai Ketua Jurusan Elektro, mumpung ada kesempatan ketemu beliau sambil konsultasi skripsi. Alih-alih membahas skripsi saya, pak Sirait justru tertarik dengan permohonan saya untuk membantu pembebasan bang Imad, saya bilang kasihan pak teman-teman saya yang dibimbing beliau akan terkatung-katung studinya. Tanpa menunggu lama pak Sirait menelpon rektorium dan Dr. Sudjana Sapiie yang dikenal dengan pak John sebagai ketua rektorium merangkap teman berdebatnya bang Imad langsung merespons dan meminta kita untuk membicarakan hal ini di kantor biro rector. Kebetulan saya ketemu Agus Darmadi yang kelihatan tersenyum, mungkin habis menang karambol, dan mengajak dia untuk mengatur rencana pembebasan bang Imad ini.

Singkat kata pak John, dengan gaya Amriknya, kaki di atas kursi, langsung menelepon pak Doddy Tisna yang dia bilang sebagai satu dari sedikit orang yang disegani oleh pak Sudomo. Di luar dugaan kami, ternyata Pak Doddy sangat antusias dan merespons sangat cepat untuk membantu pembebasan bang Imad ini, apalagi katanya idenya datang dari mahasiswa. Kami ditunggu di rumah beliau keesokan hari setelah magrib. Esok paginya, kita berangkat dan saya kebetulan diajak naik sedan built up bikinan Amrik yang dilengkapi dengan selimut otomatis punya pak John. Dan saya mendapat kehormatan duduk di samping beliau sekalian ngobrolin strategi apa yang akan kita gunakan menghadapi Sudomo. Saya usul sebaiknya bapak bapak sampaikan maksud untuk mengantarkan mahasiswa yang ingin menolong kawan-kawannya yang sekolahnya tertunda karena pembimbing skripsinya sudah lama ditahan. Pak John setuju, dan karena janjian dengan pak Doddy setelah magrib, kami punya cukup waktu untuk singgah dulu di RM Simpang Raya Puncak untuk menyantap ayam pop dan rendang paru yang nikmat sekali terutama karena ditraktir oleh Rektor ITB.
Apakah kita berhasil menemui Sudomo? Dan bagaimana hasilnya? Baca kisah lanjutannya setelah saya pulang dari Aceh






No comments:

Post a Comment