Thursday, January 19, 2012

Seputar 1978, kisah kang Sonny

From: Sonny Djatnika SD
Sender: ITB74@yahoogroups.com
Date: Tue, 17 Jan 2012 16:41:35 +0800 (SGT)
To: ITB74@yahoogroups.com
ReplyTo: ITB74@yahoogroups.com
Subject: Re: Tragedi - Re: [ITB74] Saya, Agus Darmadi, diantara Sudomo dan Imaduddin JILID 2

Saya tidak banyak punya cerita.... Saya coba dengan keterpaksaan untuk bercerita (dari sisi saya)....

Saat temen-teman Mahawarman yang lain, Iwan DS SI74, Ocim MS74, Dadan TI74, Aussie GL74, Samudra GL74, Adam Pieter TP74(??), Al Johnet GL73, Basuki Rahardjo TA73, dll. masing-masing di Komando Brigade kuadran, posko Mahawarman menjadi kosong. Sebab yang lain juga ada di Staff Resimen Mahawarman (Jl. Surapati, kalau nggak salah ITB74 disana adalah Eddy Gaffar GL74, Bambang Suhardi MS74, Abadi TA73 dan Anna D Permana GD74). Hanya satu orang ITB'74 yang aktif di posko Mahawarman ITB, Joko Purwono MS'74.

Saya yang sudah tidak lagi banyak aktif di Mahawarman. Karena rencananya semester-7 itu adalah ingin menghabiskan sisa 22-SKS, di smstr 8 tinggal 1-SKS humaniora dan kredit kerja praktek dan tugas akhir. Rencananya mengemplang mematahkan mitos TA yang umumnya lulus di atas 7 tahun. Saat itu, saya mendapat keringan ITB untuk tidak lagi membayar uang smesteran dan bebas biaya SKS. Rencana tinggal rencana, dengan Setiawan S dan yang lainnya lebi betah duduk-duduk di lapangan basket mendengarkan Dadan dan Aussie teriak-teriak. Toh ruang kuliah juga sepi. Bersama Aden S Ottoloewa TA73 mulai membantu lagi di posko, jadi James Bond keliling luar kampus agar tidak ada orang luar masuk dan mengacau kampus. Bahkan pernah dengan Dadan ke SMA-SMA untuk melihat juga pergerakan disana. Mungkin karena saya sering memakai topi ala Baretta, Joko Purwono mengangkat saya menjadi Kasi Intelejen Mahawarman, padahal saya sama sekali belum pernah mengikuti pendidikan intelejen. Jadilah intel dadakan.

Saat RPKAD masuk pertama-kali, tidak banyak yang tahu kalau Aden SO lah yang sedang di lapang basket, sebagai mahasiswa pertama yang diambil CPM. Target mereka mengambil dahulu yang mungkin menjadi pagar. Malamnya kami jemput ke jalan Jawa, ternyata sudah tidak ada. Saya ke asramanya dan disana pun tidak ada. Aden saat itu tinggal di asrama Gorontalo bersama Harso PL74 (seingat saya dulu nama panggilannya bukan Harso, kalau nggak salah ingat Akiaw, atau apa ya?). Beberapa hari kemudian saya baru tahu, Aden "disimpan" di Homann. Saya lupa apa yang yang ditanyakan CPM rincinya, paling sekitar siapa orang luar yang berdiri di belakang buku putih. Tentu karena bukan aktifis, jawabnya tidak tahu.

Isu pada waktu itu adalah kalau Mahawarman adalah alat ABRI. Kecuali Mahawarman yang aktifis di DM, Mahawarman lain tidak diikutkan dalam pertemuan mahasiswa di kampus. Tetapi dari beberapa aktifis membuat pertemuan dengan anggota Mahawarman tertentu di rumah Heman Afif di sekitar Jl Dederuk. Bagaimana membuat skenario untuk mengalihkan dan mengacaukan perhatian para informan resmi. Fihak Mahawarman mengindikasikan, lebih dari 100 mahasiswa ITB yang menjadi informan. Beberapa di antaranya memang ada yang masuk juga di tubuh Mahawarman. Jadi kita harus hati-hati. Dari cara fihak ABRI mengambil Aden, mencari Iwan DS, Aussie BG dan lainnya lah kami berkesimpulan tentang nama-nama yang telah dibocorkan dan disampaikan oleh para informan. SAYA TIDAK TAHU SIAPA?

Beberapa kejadian seru di kampus tidak lagi saya ikuti, melainkan saya mengikuti gerak-gerik Komanda Jihad Imron, mulai dari mesjid Salman, Istiqomah sampai mesjid Baros Cimahi. Seru, karena saya bergerak sendiri tanpa punya kemampuan bela diri sedikit pun. Saat berada di kampus, saya sengaja ke halaman Salman, disana ada Sintong Panjaitan yang menjadi Komandan Pengepungan ITB dari Kodam Siliwangi saat itu. Kalau tidak salah lihat RPKAD juga dipimpin oleh Prabowo yang masih baret hijau (yang ini mohon koreksi karena saya tidak ingat wajah dan tokoh). Anehnya waalau sering keluar-masuk halaman Salman, tidak pernah ada yang bertanya dan memeriksa saya, walau harusnya saya gampang dilihat karena saat itu sudah sering memakai topi bulu Rusia.

Begitu pun di sore itu, saya harus mengamankan posko dengan menyembunyikan senjata, karena saat kami punya 7 garrand, 2 bren dan satu pelontar mortir. Informasi dari teman di posko membuat saya khawatir, karena laporan piket posko malam sebelumnya yang ditawari seseorang satu truk senjata dan pelurumnya, konon untuk mempertahankan kampus. Dalam hati, untung teman-teman akalnya sehat untuk menolak (Saat kejadian 1966, banyak kampus menerima kiriman senjata semacam itu). Sore itu adalah terakhir saya berdiri di dekat tiang di depan gerbang kampus, berusaha mencegah tentara masuk. Tentara yang mengepung saat itu adalah bukan lagi yang dipimpin LetKol Sintong, walau bajunya sama dari Kostrad. Logat bahasanya adalah logat Jawa Tengah. Setelah keadaan mereda, saya pulang menembus penjagaan bersama para wartawan dan penonoton yang saat itu berdatangan dan pulang.

Malamnya, saya kembali ke kampus. Tetapi ada penjagaan di Jl. Ganesha yang melarang masuk kendaraan. Kemudian saya ke Rektorat, karena biasanya, Ibu Wiranto mengirimkan nasi bungkus dari sana, rencana saya akan ikut rombongan pengirim nasi bungkus. Di sana saya baru tahu, kalau kampus sudah diduduki. Entah beberapa malam berkumpul di Rektorat, termasuk berita adanya kejadian penembakan rumah Pak Alisjahbana yang hanya berjarak 50 meter dari Rektorat. Sampai akhirnya kami diminta oleh Pak Wiranto untuk mewakili ITB menjaga kampus agar tidak lagi ada fitnah tentang penemuan-penemuan disana. Saya, Samudra GL74, Dani GL74, Sampurno GD74 adalah merupakan anggota dari 16 wakil ITB yang menginap di dalam kampus. Bahkan anggota Mahawarman ITB lainnya yang saat itu berkumpul di Rektorat tidak boleh masuk. Kami harus menjaga agar mahasiswa lain dan staff ITB juga tidak boleh ada masuk melewati batas jam di depan 8EH. Tujuannya adalah agar saat inventarisasi dan penyerahan kembali kampus dari ABRI ke ITB tidak ada yang dijadikan fitnah di kemudian hari.

Sering saya pergi membeli rokok (awal saya membeli sendiri) melewati asrama Ganesha, atau kadang saat sedang menjaga di gerbang, didatangi oleh penduduk asrama. Bukan saja mahasiswa biasa, ada juga yang Mahawarman. Saya kira mereka mau memberi sesuatu, tetapi kami sering diserang oleh mereka, dikatakan alat ABRI dan sebagainya. Bukan saja oleh teman seangkatan, bahkan oleh yang lebih muda dan paling keras oleh yang lebih tua, kami terima saja. Melawan saya kagak berani biar pun pakai seragam. Saya tidak pernah tahu kemana para mahasiswa lain yang dulu bergerombol di lapangan basket, tahu itu kemudian. Konon dari teman-teman banyak yang diinapkan di Jl. Jawa.

Kampus mulai dibuka hanya untuk mahasiswa baru angkatan 1978. Kami, 16 orang, ditugaskan untuk melatih mereka baris-berbaris untuk pembukaan upacara penerimaan mahasiswa baru. Bahkan saya tidak tahu, kapan mereka testing masuk ITB-nya. Sial-nya saya lah yang mengajari Ganeshi. Sampai akhirnya, kampus diserahkan dan dinormalkan oleh NKK. Saat teman-teman masih ada yang ikut ujian semester-7 dan melanjutkan semenester-8, saya masih tidak ikut ujian hampir 8-SKS semester 7 dan hanya 4-SKS di semester 8, yaitu Humaniora dan kerja praktek saja. Saat mengambil SKS yang belum ujian di smester-9 dan 10, saya harus mengambil hampir 14-SKS pelajaran baru. Total selama di ITB saya mengambil hampir 182-SKS, lebih banyak dari yang lainnya. Rencana mengemplang tidak berhasil, tetapi banyak belajar dari kejadian 1978 itu.... Tidak aneh saya baru sidang pada akhir 1981, selain karena tugas akhirnya hampir 1,5 tahun. Saya tidak ikut wisuda Okt 1981, malahan ijazahnya jadi yang pertama keluaran baru pada awal 1982 yang berbentuk lebih kecil.....

Banyak cerita kemudian setelah 1978, termasuk Mahawarman ITB yang dianggap kurang kerja-samanya oleh Hankam sehingga kemudian diambil alih dari sebelumnya di bawah Rektor menjadi di Bawah SKB 3-menteri. Baret dan badge diganti lebih nasionalis. Tetapi saya, Joko dan Aden adalah yang membuat poernyataan terlis dan menolak. Kono, pada waktu itu Pangdam Siliwangi, Mayjen Himawan Soetanto juga prihatin atas kejadian tersebut, terutama penembakan rumah Pak Alisjahbana. Pak Himawan dan Pak Jendral Awaliudin Jamin (Kapolri) adalah menantu Bapak Ir. Hadji Djuanda. 12 tahun setelah kejadian 1978, saya menjadi membantu di perusahan Nunun Nurbaiti Daradjatoen, dimana saya sering dipanggil menjelaskan proyek-proyeknya oleh para Komisaris, yaitu Pak Himawan dan pak Awaludin. Konon pula ke tempat saya sering datang mas Heri Akhmadi, hanya saya sendiri belum pernah bertemu. Maklum sering wara-wiri di proyek mereka.


salam.....sd

No comments:

Post a Comment