Monday, January 16, 2012

Lanjutan kisah pembebasan bang Imad (Imaduddin Abdulrohim) bagian ke 3

agungeka@yahoo.com

To: ITB74@yahoogroups.com

Teman teman,

Ingin menambahkan; peristiwa 1978 dan Buku Putih pernah kita tayangkan
di milis ITB74 pada bulan February 2009 mulai thread 24525. Semoga informasi
disana bisa digabungkan dengan informasi baru yang kita tulis thn 2012 ini.
Diakhir tulisan ini, saya kopas kesan saya yang saya tulis waktu itu akan peristiwa
1978 itu.

Entah kebetulan entah ada yang mengatur, hari Sabtu tgl 14 Januari kemarin
saya bertandang ke sesepuh ex alumni ITB untuk bernostalgia. Beliau lulusan
jurusan arsitektur ITB - mungkin angkatan 50-an karena usia beliau sudah 82 tahun.
Lulusan Harvard awal thn 60-an sebelum G30S PKI meletus dan pernah menjadi
dosen ITB, yang kemudian menduduki posisi sangat tinggi dibidang perencanaan
di Citicorp Headquarter di NYC.

Kita berbincang bab peranan ITB, Soekarno s/d kondisi ITB sekarang ini dari kaca
mata beliau yang baru saja menengok kampus thn 2010 kemarin. Ternyata bukan
hanya Malari (1974) dan Buku Putih (1978) saja ITB di"permak" oleh Suharto.
Beliau menyebutkan beberapa orang nama dosen ... apakah saya pernah mendengar
nya?. Dia menguraikan cerita ... apakah saya pernah mendengarnya? Saya jawab
belum. Dari beliau saya terhenyak karena banyak sekali kekejaman yang dilakukan
rezim Suharto yang dikubur dan kita tidak tahu. Ternyata banyak sekali dosen
ITB yang brillian yang "lenyap" jaman pergoalakan G30S PKI. Dia bilang, ITB
sebetulnya kehilangan asset luar biasa, karena mereka yang hilang itu cream
of the cream nya ITB waktu itu. Seperti yang saya maklumi setelah sekian lama
hidup merantau di Amrik, biasanya orang orang top-markotop seperti ini (baik
di Amrik, Eropa, dan Asia) alirannya adalah humanist-sosialist dan sering dicap
kiri (sosialisme di Amrik kan nyaris disamakan dengan komunis - paling tidak
dianggap ekstrim kiri dan NO-NO-NO di kacamata masyarakat kapitalis Amrik).
Mereka yang lenyap bahkan banyak yang lulus dari Amrik sendiri.

Dengan mata berkaca-kaca ... saya tergagap .... menceritakan pengalaman
dari mata kepala sendiri ... bagaimana manusia berdiri berjejer disumur tua
rumahku membasuh darah dan mencuci luka korban penyiksaan RPKAD.
Hari demi hari, minggu demi minggu , bulan berganti bulan ... wajah wajah
baru berdatangan, pria dan wanita yang bersimbah darah, kepala yang tanpa
bentuk ... masih terbayang baju dan celana yang lusuh wajah yang pucat
ketakutan seperti mayat ... mereka berjajar bagaikan jeruji jeruji besi ... diam
dan kelu. Seorang anak umur 11 tahun, adik-adiknya serta teman temannya
... mereka mengenal kebiadaban anak negeri ini.

Semoga tidak terulang lagi.

salam

*******************************************************************
Re: [ITB74] Semoga Tidak Lupa Sejarah.


Teman teman,

Mata saya masih berkaca kaca kalau mengingat peristiwa itu. Saya waktu itu
masih dosen muda dan masih jabrig sepanjang bahu. Pada waktu tentara
masuk kampus saya bersama teman-teman di Jalan Ganesa, dimuka Salman
menghadang tentara. Dan kita kemudian buyar, maklum mereka memakai
mobil dengan kawat berduri dimukanya.

Sewaktu kampus diduduki selama enam bulan, hanya dosen yang boleh
masuk. Saya waktu itu masuk kampus dengan kartu dosen (KTP ku sudah
diganti pula sebagai dosen tahun 1977 - jadi konsisten). Saya lupa persisnya
kapan saya masuk kampus setelah pendudukan. Tetapi semua teringat
jelas sekali.

Saya melihat kampus sepi sekali - lengang. Daun daun kering dimana-mana,
sampah dan kertas berserakan, beberapa kaca terutama di student center
pecah. Lengang amat lengang. Di tengah kampus rasanya seperti ditengah
kuburan (kuburan masih lebih ramai) ... teman teman mudah-mudahan bisa
membayangkan yang saya saksikan dan rasakan waktu itu.

Kemudian saya masuk keruang kerjaku di departemen ... debu dimana-mana.
Meja, kursi, kertas riset dan persiapan kuliah tertutup debu. Saya
sempatkan duduk dikursi rotan ... tidak ada siapa-siapa ... saya tatap
tembok tembok. Saya berdiri dan menuju jendela kaca yang kusam ...
lengang teramat lengang ... kepalaku kusandarkan dikaca jendela,
tanganku berpegangan pada bingkai jendela dan aku menangis disitu.

Sangat pedih ... saya sampai sekarang masih bertanya "mengapa
kita semua harus melewati saat saat gelap seperti itu dalam hidup
kita yang singkat ini".

Salam




From: Robert delinom
Subject: Re: [ITB74] Semoga Tidak Lupa Sejarah.
To: ITB74@yahoogroups.com
Date: Tuesday, February 17, 2009, 1:15 AM

Agung,

Terimakasih untuk mengingatkan kembali peristiwa 31 tahun yang lalu. Saya juga jadi ingat betapa dulu ikut merasakan dinginnya Jalan Jawa 13. Saya, Damai, Dede Tresnahadi, Harry Rahaedjo (GL 74), Denny dan Suriadarma (GL 75)m serta Widiatma (GL 76) ikut terjaring ketika sedang rapat di Sekeloa dan waktu itu kampus kita sudah dipenuhi tentara. Teman2 kita di GL menyebut kita, 7 Pendekar Bloon karena tidak lari ketika markas diserang. Waktu itu takut juga kalau ketembak, euy. Damai sebenarnya lebih bloon lagi. Saat ditangkap sebenarnya cuma berlima, tidak termasuk Damai dan Widiatma. Mereka ikut ditangkap ketika mereka datang kemudian dan ditanya, apakah anda teman mereka ini? Salah satu intel yang galak pasang aksi. Saya, Harry, Dede, Surya dan Deni sudah diam saja, dengan harapan mereka segera pergi dan pura2 tidak kenal. Eh, malah Damai menjawan, iya. Ayo, kamu ikut bergabung. Akhirnya, jadi deh 7 Pendekar Bloon. rasanya lebih sebulan kita disana. Ada Ramles Manampang (MS 75?) dan Komaruddin (Biologi 68?) dan yang lainnya. Ada juga beberapa tahanan G 30 S. Lumayan juga pengalaman disana.

RD

--- On Tue, 2/17/09, agung hertanto wrote:
From: agung hertanto
Subject: [ITB74] Semoga Tidak Lupa Sejarah.
To: "ITB74"
Date: Tuesday, February 17, 2009, 10:57 AM

Teman Teman,

Mari kita tundukkan kepala sebentar. Semoga kita tidak lupa sejarah.

salam
************ ********* *******
Penyerbuan Militer ke Kampus ITB 1978
Mengapa Kalian Begitu Pengecut?


Oleh
Daud Sinjal

JAKARTA – PAGI hari 13 Februari 1978, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Iskandar Alisyahbana mendatangi rumah Panglima Kodam Siliwangi di Jl. Wastukencana, Bandung. Ia ingin menuntut penjelasan sekaligus tanggung jawab atas perbuatan pengecut yang diyakininya dilakukan tentara.
Rumahnya, semalam, diberondong tembakan senapan mesin membabi buta. Sejumlah peluru menerabas sampai ke kamar tidur anaknya. ”Hoe kunnen jullie zo laf zijn (mengapa kalian bisa begitu pengecut?)”, katanya begitu bertemu Panglima, Mayjen TNI Himawan Soetanto.
Panglima Siliwangi menyatakan sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti motif penembakan tersebut. Kepada Alisyahbana, ia menegaskan, ”Keuntungan apa yang saya dapat? Sebaliknya perbuatan itu malah merugikan dan mencoreng kehormatan saya dan Siliwangi”.
Peristiwa penembakan rumah Rektor ITB di Jl. Sulanjana, Bandung adalah bagian dari tindakan kalap penguasa yang sudah tidak bisa lagi mentolerir gerakan ”inkonstitusional yang merongrong kewibawaan kepemimpinan nasional, yang menjurus penggagalan SU MPR 1978, mengancam kelangsungan pembangunan nasional, kestabilan dan keutuhan bangsa”.
Gerakan mahasiswa sudah bersemi sejak pertengahan 1977, yang diwujudkan dalam demonstrasi, arak-arakan, diskusi, DPR Jalanan, penyebaran pamflet, serta pemasangan poster dan spanduk. Hampir seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta bangkit bersuara. Tapi pusat kegiatannya adalah di Bandung, tepatnya di ITB.
Di kampus ITB, 24–27 Oktober 1977, diselenggarakan pertemuan 68 senat dan dewan mahasiswa se-Indonesia. Mereka mencetuskan Ikrar Mahasiswa Indonesia yang isinya mendesak MPR menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden RI tentang penyelewengan- penyelewengan dalam pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila.

Operasi Kilat
Memasuki Januari 1978, gerakan mahasiswa makin bergelora. Pada 14 Januari, ITB menerbitkan Buku Putih, dan 16 Januari menggelar apel kesiapsiagaan yang diikuti sekitar 3.000 mahasiswa dan dihadiri oleh rektor.

Di sini dibacakan sikap mahasiswa ITB yang ”tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali sebagai Presiden RI”.
Sehari setelah apel ITB, Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) bertekad menghentikan gerakan mahasiswa dan merancang operasi gerak cepat dan bersifat ”shock treatment”. Pernyataan mahasiswa ITB juga dianggap menantang pernyataan ABRI (ditandatangani Menhankam/Pangab, Wapangab, para kepala staf angkatan dan Kapolri) tepat sebulan sebelumnya yang ”akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang akan merongrong kewibawaan kepemimpinan nasional”.
Operasi gerak cepat ini dilancarkan 18 Januari dan dinamai ”Operasi Kilat”. Pokok-pokoknya adalah: menangkap semua pimpinan dewan dan senat mahasiswa yang menandatangani ”Ikrar Mahasiswa 28 Oktober 1977”, ”black out” kampus dari media massa dan memberangus untuk sementara koran-koran yang ”mengipasi” (antara lain Sinar Harapan, Kompas, Merdeka).
Kemudian, masuk ke kampus-kampus untuk menindak rapat-rapat dan poster-poster. Menindak tegas Pati ABRI yang memberi angin. Membantu rektor untuk berani menjatuhkan sanksi akademis terhadap mereka yang terlibat gerakan.
Fokus operasi adalah Bandung, khususnya ITB. Ke sana dikerahkan pasukan berkekuatan 2.000 personel, terbagi dalam 12 satuan setingkat kompi. Pada 20 Januari mulai dilakukan penangkapan- penangkapan dan dini hari 1 Februari, tentara masuk menertibkan kampus-kampus.
Operasi Kilat di Jawa Barat menangkap 98 aktivis mahasiswa dari ITB, Unpad, Unpar, IPB, Unisba, IKIP Bandung, dll. Namun kendati pimpinan mahasiswa sudah ditangkap atau buronan (Rizal Ramli dan Al Hilal Hamdi baru ketangkap tiga bulan kemudian), kegiatan perlawanan di Kampus ITB (aksi mogok kuliah dan agitasi radio) terus berlangsung.
Kampus itu malah dijadikan tempat konsentrasi, bukan saja oleh mahasiswa ITB, tapi juga mahasiswa perguruan tinggi lain. Maka pada Kamis, 9 Februari, khusus pada ITB dilancarkan penyerbuan, kali ini dengan cara bengis yang menyebabkan delapan mahasiswa dan pelajar luka-luka. Kampus ITB diduduki tentara.
Setelah pendudukan militer itu, Rektor ITB Iskandar Alisyahbana masih membentuk Dewan Pemulihan yang diketuainya sendiri, padahal Jakarta menghendaki dia diganti, serta Menteri P dan K telah mengirim Dirjen Perguruan Tinggi Prof. Dody Tisnaamijaya, untuk menormalkan ITB.
Lagipula, Alisyahbana harus dicegah kehadirannya pada rapat kerja rektor se-Indonesia yang akan dibuka presiden 14 Februari.
Pak Harto jangan sampai bertatap muka dengan sang rektor yang telah membiarkan mahasiswa dan kampusnya menyinggung kehormatannya sebagai kepala negara. Rumah sang rektor diberondong tembakan, itulah salah satu isyarat keras dia harus mundur. Tanggal 16 Februari, Alisyahbana menyerahkan jabatannya kepada rektorium ITB yang diketuai Prof. Soedjana Sapi’ie.

”Strategy of Indirect Approach”
Panglima Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto mengatakan bahwa pasukan yang menyerbu ITB 9 Februari itu bukanlah kesatuan organik Kodam Siliwangi. Dan ketika penyerbuan brutal itu terjadi, ia sedang berada di Cirebon. Penembakan rumah rektor—berdasarkan pengakuan—juga oleh oknum dari luar Siliwangi.
Sejak semula Himawan merasa tidak perlu melakukan tindakan militer terhadap gerakan mahasiswa. Dalam pengarahannya kepada jajaran Kodam Siliwangi dan ABRI se-Garnisun Bandung-Cimahi dan juga di depan rapat pimpinan Golkar Jawa Barat serta Angkatan Muda Siliwangi, Panglima menggariskan strategi pendekatan tidak langsung.
Ia adalah penganut ajaran Liddle Hart, strategy of indirect approach. Dalam briefing semenjak Oktober 1977 sampai Januari 1978, berulangkali ia menguraikan siasat tersebut, yakni ”pengikatan” gerakan mahasiswa dalam lingkungannya sendiri agar tidak link-up dengan masyarakat luas.
Pendekatan ke tokoh masyarakat, partai politik, alim-ulama untuk membentuk basis massa yang kebal dari pengaruh agitasi mahasiswa (dan kelompok pressure group lainnya). Terhadap mahasiswa sendiri diadakan pendekatan dan dicegah turun ke jalan.
Kekerasan militer haruslah benar-benar sebagai last resort, karena dikhawatirkan akan merusak kepercayaan pada Siliwangi sebagai tentara rakyatnya Jawa Barat. Dan memulihkannya tidak cukup satu-dua generasi. Tapi sikap Himawan Soetanto itu oleh Jakarta dianggap sebagai keraguan, bahkan insubordinasi.
Maka bertepatan dengan pelaksanaan Operasi Kilat, Kopkamtib menurunkan Panglima Kowilhan II Jawa Letjen Wijoyo Suyono ke Bandung. Namun, Laksus Kopkamtib Wilayah Jawa-Nusa Tenggara itu memilih bermarkas di Batujajar. Belakangan, ia mengatakan menjalankan perintah atasan, tapi percaya Himawan Soetanto tahu apa yang sebaiknya ia perbuat.
Rabu pagi, 20 Februari 2008, para eksponen gerakan mahasiswa ITB 1977-1978 akan memperingati peristiwa 30 tahun lalu itu dengan diskusi dan pameran foto di Gedung Usmar Ismail, Jl. Rasuna Said. Para eks tawanan Operasi Kilat tersebut antara lain Rizal Ramli, Al Hilal Hamdi, Heri Akhmadi, Moh. Iqbal, Indro Tjahyono. n







Copyright © Sinar Harapan 2003

No comments:

Post a Comment