Thursday, January 19, 2012

Supriadi dan Agus Darmadi diantara Sudomo dan Imaduddin

Kisah ini sekedar  nostalgia paska revolusi 1978 di kampus ITB yang  ingin saya ceritakan sebelum  rekaman dalam memori saya semakin banyak yang tergerus karena usia. Saya kira tidak banyak orang ITB yang mengetahui sempalan kehidupan kampus ini selain para pelaku yaitu saya dan Agus Darmadi dari ITb EL 74,  Dr. KT Ing Sirait yang Kajur Elektro, Dr. Sudjana Sapiie yang ketua Rektorium waktu itu, Almarhum yang kita cintai Prof. Dr. Doddy Tisna Amijaya yang saat itu menjabat Dirjen Dikti, Pangkopkamtib Sudomo, almarhum bang Imad sendiri beserta istri beliau. Bahkan mungkin para pelakunya sendiri sudah lupa atas kisah yang tersisih ini.

Pagi itu saya yang sekretaris umum HME sedang merapikan berbagai dokumen dan peralatan himpunan yang  terasa masih semrawut  setelah digunakan untuk perjuangan melawan tirani yang walaupun gagal secara fisik pada saat itu tapi secara moral berhasil menggulingkan tirani orde baru melalui reformasi dua puluh tahun kemudian.   Satu unit televisi 14 inci merk Sanyo dan sebuah gitar Hoffner  yang saya bawa dari rumah untuk hiburan teman-teman yang piket siaga ketika itu baru hari ini rencananya akan saya bawa pulang karena anak-anak elektro sudah mulai kuliah lagi setelah dicabutnya aksi mogok  sebulan yang lalu.

Nampaknya perjuangan anak-anak itb untuk sementara sudah selesai, teman-teman yang sempat ditahan baik yang diciduk tibum maupun yang disortir di kampus sudah semuanya dibebaskan kecuali mereka yang harus disidangkan karena memproklamirkan DPRS seperti Al Hilal, Ramses, Indro Cahyono, dan sisanya saya lupa. Saya sendiri secara mujur tidak ditahan walaupun kepergok membawa notulen rapat siaga karena yang mensortir saya di kampus kebetulan anggota RPKADyang pro mahasiswa, dan ketika aksi lempar poster di pohon saya selamat dari kejaran Tibum  karena berkat Vespa sakti saya sempat menyelinap ke Jalan Merdeka Lio setalah balapan dengan mobil tibum di Wastu Kencana. Nggak percuma saya kan anak Bandung yang hapal liku-liku sampai gang-gang dan branhang di kota Kembang tempat lahirku . Saya termasuk orang yang beruntung bisa mengalami langsung dua kali penyerbuan kampus, yang pertama kampus diduduki secara santun oleh pasukan Siliwangi yang menganggap mahasiswa ITB sebagai sedulur, dan yang kedua penyerbuan brutal karena konon dilakukan oleh pentol korek yang baru pulang dan selamat dari pembantaian di Timor Timur, wallahu alam.

Saya sempat merinding bila teringat bahwa saking emosinya melihat cewek itb anak 75 pujaan saya  (beraninya dalam hati saja sih) kena tendang sepatu lars hampir saja keluar penyakit nekat saya untuk menggelindingkan kapasitor yang telah saya isi tegangan tinggi 300 ribu volt (mentang mentang asisten lab tegangqan tinggi) ke tengah tengah para budugul cepak yang tidak punya perasaan itu. Kecolek sedikit saja kapasitor itu, prajurit-prajurit pentol korek itu dijamin garing. Untung saja kunci laboratoriumnya ketinggalan di bagasi Vespa yang diparkir jauh di halaman HME, sehingga tragedi besar tersebut tidak terjadi.

Lepas dari lamunan tersebut saya mulai membuka lagi ketikan skripsi yang sempat saya tinggalkan selama revolusi berlangsung. Ternyata saya harus beli tip-ex karena masih banyak salah ketik dan terjemahan bebas yang kurang pas, padahal besok hari saya sudah buat janji untuk konsultasi dengan pembimbing utama yaitu pak Sirait. Teringat akan dosen pembimbing, tiba-tiba muncul dalam benak saya nama Imaduddin sebagai salah satu dosen senior yang lebih dari satu tahun statusnya masih dalam tahanan Kopkamtib padahal seluruh tahanan ITB lainnya sudah dibebaskan atau di vonis di pengadilan. Rasa tanggung jawab sebagai pimpinan mahasiswa elektro mendorong saya untuk membicarakan cara pembebasan bang Imad ini kepada pak Sirait sebagai Ketua Jurusan Elektro, mumpung ada  kesempatan ketemu beliau sambil konsultasi skripsi. Alih-alih membahas skripsi saya, pak Sirait justru tertarik dengan permohonan saya untuk membantu pembebasan bang Imad, saya bilang kasihan pak teman-teman saya yang dibimbing beliau akan terkatung-katung studinya. Tanpa menunggu lama pak Sirait menelpon rektorium dan Dr. Sudjana Sapiie yang dikenal dengan pak John sebagai ketua rektorium merangkap teman berdebatnya bang Imad langsung merespons dan meminta kita untuk membicarakan hal ini di kantor biro rector.

Kebetulan saya ketemu Agus Darmadi yang kelihatan tersenyum, mungkin habis menang karambol, dan mengajak dia untuk mengatur rencana pembebasan bang Imad ini. Singkat kata pak John, dengan gaya Amriknya, kaki di atas kursi, langsung menelepon pak Doddy Tisna yang dia bilang sebagai satu dari sedikit orang yang disegani oleh pak Sudomo. Di luar dugaan kami, ternyata Pak Doddy sangat antusias dan merespons sangat cepat untuk membantu pembebasan bang Imad ini, apalagi katanya idenya datang dari mahasiswa. Kami ditunggu di rumah beliau keesokan hari setelah magrib. Esok paginya, kita berangkat dan saya kebetulan diajak naik sedan built up bikinan Amrik yang dilengkapi dengan selimut otomatis punya pak John. Dan saya mendapat kehormatan duduk di samping beliau sekalian ngobrolin strategi apa yang akan kita gunakan menghadapi Sudomo. Saya usul sebaiknya bapak bapak sampaikan maksud untuk mengantarkan mahasiswa yang ingin menolong kawan-kawannya yang sekolahnya tertunda karena pembimbing skripsinya sudah lama ditahan. Pak John setuju, dan karena janjian dengan pak Doddy setelah magrib, kami punya cukup waktu untuk singgah dulu di RM Simpang Raya Puncak untuk menyantap ayam pop dan rendang paru yang nikmat sekali terutama karena ditraktir oleh Rektor ITB.

Sebelum melanjutkan cerita pembebasan bang Imad, saya mencoba menguras memori saya untuk mengingat cirri-ciri unik dari para karakter dalam kisah ini sebagai berikut

………Doktor lulusan Amrik yang ngajar analisa sistim tenaga ini merupakan dosen kebanggaan anak-anak elektro 74 walaupun lebih dari 90 % jadwal kuliahnya ngaco karena dia sering travelling sehingga kuliahnya sering dirapel pada hari Sabtu dari pagi sampai sore, dan bahan kuliahnya tulisan tangan sendiri (belum ada laptop boo) yang dibuat di pesawat katanya. Ciri khas pak John yang anak Pangalengan tapi istrinya bule ini, kalau ngajar kakinya lebih banyak di atas meja daripada di lantai, mungkin ini yang membuat anak-anak semangat walaupun 3 malam nggak tidur karena harus menyelesaikan iterasi yang nggak kunjung mengerucut (maklum saat itu Cuma kalkulator hp saya saja sudah termasuk yang paling top).saat ini Dr. Sudjana Sapiie mengajar di ITB dan masih segar dan sehat, data yang bagus-bagusnya tentang beliau silakan google aja ya……

Prof. Dr. D.A. Tisnaamijaya menurut saya adalah satu-satunya Rektor ITB sementara yang lainnya hanya menggantikan beliau. Sosok pak Doddy yang tegas bercahaya tapi tetap menunjukkan ciri “orang Sunda yang santun” membuat beliau disegani kawan maupun lawan dan layak dijadikan panutan anak itb sepanjang masa. Saya bangga karena ijazah itb saya ditanda tangani beliau walaupun saat itu pak Doddy sudah tidak di itb lagi. Pak Doddy yang dalam kisah ini menjabat dirjen dikti merupakan karakter kunci dalam proses pembebasan bang Imad.

Kalau ngajar, jagoan petir dan proteksi ini lebih banyak ngobrol sendiri dengan papan tulis, tapi anak-anak elektro juga boleh bangga sama doctor lulusan Jerman ini. Dr. Ing. KT Sirait termasuk satu diantara sedikit pakar tegangan tinggi yang ada di Indonesia saat itu. Apalagi beliau adalah pembimbing utama skripsi saya walaupun waktu sidang dia yang menghajar saya sehingga harus ada perbaikan (belakangan dia minta maaf karena dia tidak sempat membaca detail skripsi saya yang memilih outlier case, dasar supriadi senangnya cari penyakit). Dalam kisah ini pak Sirait yang waktu itu Ketua Jurusan Elektro merupakan pembuka jalan dalam proses pembebasan bang Imad. Seperti kebanyakan alumni itb yang pembosan di profesinya, pak Sirait saat ini menjadi staf ahli di DPR setelah sempat menjadi wakil rakyat mewakili Partai Damai Sejahtera.

Agus Darmadi, anak itb 74 yang satu ini merupakan salah satu sosok unik dari species elektro. Walaupun badannya nyaris kaki semua (Nyuwun sembah pangapunten injih den Agus) dan gayanya yang dingin tapi anak Semarang ini sering menjadi andalan untuk bikin PR karena ditunjang keenceran otaknya yang di atas rata-rata. Yang saya selalu ingat adalah keberanian AD yang rajin bikin tulisan di Papeng (papan pengumuman) HME dan menyebut dirinya sebagai PKI (penulis karangan ini). Selepas itb Agus seperti saya bekerja di PLN karena terjebak ikatan dinas 30 ribu rupiah yang saat itu bisa untuk nraktir 10 orang di sate hadori dan goreng jeroan di Ponyo . Saya hanya ingat bahwa hanya Agus sendiri yang menemani saya dalam usaha pembebasan bang Imad ini, tapi otak bapak Satar saya yang sudah dumb ini tidak berhasil mengorek memori, bagaimana asal usul Agus Darmadi ikut dalam cerita ini. Mungkin lebih baik Agus sendiri nanti yang sharing di Milis yaa….

Sudomo, sebagai panglima Kopkamtib waktu itu, Jendral bermuka ramah tap ber hati dingin ini bisa diibaratkan sebagai Giam Lo Ongnya (dewa pencabut nyawa) orde baru yang setiap saat bisa memerintahkan Hek Pek Moko, iblis kembar hitam putih dengan penggebuk Tok Kak Tong Jin nya untuk menghabisi siapa saja yang dianggap menghalangi kerajaan orde baru. Walaupun saat itu saya sangat benci pada kedzaliman baju hijau, tapi secara pribadi saya respek sama Sudomo, kenapa? Berkat perkenan dialah saya sama Herdi Waluyo (El itb 74) berhasil mendapatkan sumbangan pemerintah untuk menyelesaikan mosaic putih menara Salman yang berdiri tegar sampai saat ini…………

Supriadi (waktu itu nggak pakai Legino)…. Naah kalau karakter yang ini saya kenal baik, maklum hampir semua sifat dia luar dalam mirip banget sama saya. Cuma bedanya dengan Supriadi, saya seperti Yan Satar Kuryana kepalanya bolenang sementara Supriadi lebih kurusan dan rambutnya tebal dan panjang dan sedikit ikal di bahu. Tapi jauh lumayan daripada kayak Rawono Sosrodimulyo, anak Cepu yang setiap hari perlu “ngeblow rambutnya pakai sisir alumunium yang diikat di solderan (catok.com). Salah satu kebanggaan EL 74 adalah Dedi Dhores mirip Supriadi dan Rawono mirip Edi S. Tonga.

Strength: Dia adalah anak ITB 74 !!

Weaknesses: banyak sekali! Yang jelas dia rajanya ngantuk (paling tidak dua kali dibangunkan dosen waktu kuliah di Amerika dan sekali nabrak oplet masuk selokan di Sicincin Padang). Dia juga sensornya suka eror kebalik atau rada suka cari penyakit; orang masuk SMA 3 Bandung yang ngetop dia malah masuk SMA I yang biang jojing, disarankan psychotest masuk arsitek malah pindah elektro sampai nyaris pindah ke ITT karena frustasi dengan teori medan sementara melihat temennya pinter-pinter seperti HGS, waktu masuk PLN orang rebutan di Jawa dia malah minta di Maninjau (alasannya pengen naik kapal terbang gratis).

Profil asmara remaja supriadi agak amburadul; kalau lagi ada yang dikecengin noraknya keluar (misalnya pernah waktu naksir anak TP dia pakai celana putih cutbray dan baju batik safari dengan bross serenceng peniti dan jarum pentul dilengkapi dengan sepatu putih hak 15 cm). Anehnya semakin dia ngebet sama cewek malah semakin jutek sama si cewek, kalau mau PDKT dating ke rumah cewek malah bersyukur kalau ceweknya nggak di rumah. Pernah pacaran sekali dan kapok karena rugi waktu katanya, dan memilih lebih suka bergerombolan sama batangan.com sebangsanya si Ujang Kusmayadi dan Rawono Silitonga. Tapi menuruk kisah yang lain dikabarkan akhir kisah cintanya berakhir bahagia karena mendapatkan anak ASMI kelahiran Cianjur yang mengerti bahwa dibalik kelakuannya yang judes norak terkandung kasih saying yang sejati sama wanita.

Anda puas sampaikan pada teman, anda kecewa sampaikan kepada kami, itulah semboyan Simpang Raya Cipanas yang baru saja kami tinggalkan setelah ditraktir pak John yang katanya lama di Amrik tapi ternyata makannya banyak hehejoan (daun singkong). Mobil meluncur melewati Puncak Pass dan menurun kembali menuju arah Cipayung di tengah perkebunan the dan hawa yang segar, sesegar harapan untuk dapat membebaskan bang Imad, guru dan tokoh yang saya hormati. Semakin dekat dengan kota Jakarta lepas dari tol (tambah ongkos lancar) jagorawi entah kenapa perasaan saya semakin tegang, maklum akan bertemu dengan Sudomo yang pastinya tahu persis apa yang terjadi di kampus ITB waktu itu. Walaupun saya sama Agus sudah siap dengan strategi untuk berbicara dengan Sudomo dan tentunya bakal diback-up juga oleh para Lo Cian Pwe ITB, tetap saja ngeri menghadapi Giam Lo Ong nya Indonesia itu. Akhirnya sampailah kita di kantor Dirjen Pendidikan Tinggi dan menemui kenyataan bahwa ada sedikit kendala dalam renana kita. Menurut staf Dirjen Dikti, pak Doddy ternyata minta kita untuk menemuinya setelah magrib di rumah dinas beliau karena konon kabarnya Sudomo tidak bisa ditemui di kantornya siang ini. Kondisi ini membuat saya semakin stress karena tiba-tiba bermunculan berbagai kekhawatiran di benak saya, mulai dari kemungkinan bang Imad harus menjalani dulu persidangan sampai ketakutan bahwa tindakan kita justru membuat Sudomo semakin alergi dan mengkucilkan bang Imad ke penjara yang lebih jauh dan sulit dijenguk. Walaupun lebih dari setahun ditahan, memang setahu saya bang Imad belum pernah diproses secara hukum apalagi sampai di pengadilan. Langkah pamungkas yang bisa saya lakukan adalah berdoa dan akhirnya menenangkan diri dengan keyakinan bahwa pak Doddy yang disegani pak Domo tentunya akan mendapat jalan terbaik.

Kegundahanku mulai sirna setelah kami masing-masing disuguhi secangkir kopi susu di rumah pak Doddy yang menyambut kami dengan wajah bersinar dan senyum khasnya yang memberikan ketenangan. Pak Domo menunggu kita di rumahnya, sekarang juga!!! Serempak kami segera meneguk habis kopi dalam cangkir dan sigap berdiri untuk memasuki kendaraan menuju rumah Pangkopkamtib, Giam Lo Ong yang ditakuti semua orang Indonesia.....dan diluar dugaan, ternyata pak Domo sendiri menyambut kami di depan pintu rumahnya sehingga kami terhindar dari remeh temeh penjagaan militer. Siapa sangka Giam Lo Ong itu ternyata mengumbar tawa dan senyum dan tanpa basa-basi langsung berujar kepada saya dan Agus Darmadi: Nah begitu dong kalau jadi mahasiswa!! Berani membela dosennya, kapan mau dijemput? Tapi ya jangan malam ini, kan Imaduddin seneng baca mustinya perlu beres-beres buku-bukunya yang sa abreg, wong sudah setahun di sana….Haa?? semudah itukah???

Ya Tuhan betulkah apa yang kami dengar ini? Saya terbengong-bengong khawatir kalau-kalau pak Domo itu main-main, sampai akhirnya saya melirik pak Doddy hanya tersenyum, senyum seorang ayah yang bahagia melihat anak-anaknya mendapatkan hadiah yang diimpikannya. Terima kasih ya Allah, Engkau mengabulkan doa kami, karena kami tahu persis bahwa bang Imad tidak mungkin terkait dengan komando jihad, yang menurut rumor merupakan alasan kenapa dia ditahan. Justru dalam berbagai kesempatan bang Imad menyayangkan adanya oknum muslim yang berpikiran sempit seperti mereka, bahkan dalam kegiatan mahasiswa melawan Suharto juga bang Imad berkali-kali menyuruh kita agar tetap berhati-hati untuk tidak bertindak anarkis. Melihat muka kami yang disaluti tanda-tanya, Sudomo menegaskan lebih lanjut bahwa bang Imad bersih sudah tidak perlu ditahan lebih lanjut. Pak John akhirnya mengangguk-ngangguk sementara pak Sirait dengan gaya batak solonya menanyakan: jadi tidak akan ada proses pengadilan untuk Imaduddin? Pak Domo dengan tertawa berkata: Nggak perlu !! wong dia nggak ada apa-apa koq, dia sudah bisa ngajar lagi kapan saja dan bilang sama kawan-kawan kamu (sambil memandang saya dan Agus) beresin skripsinya, cepetan lulus kasian orang tua yang telah keluar biaya untuk ongkos kuliah kalian.

Akhirnya pak John memutuskan bahwa kita akan menjemput bang Imad lusa dan akan segera memberitahu istri setia beliau untuk bersama-sama lusa pagi………….

Tibalah hari bahagia itu, bang Imad akhirnya bebas………….di Puncak dia sempat minta berhenti sebentar dan menyambar kamera Leicaflex nya untuk mengabadikan warna-warni Gantole yang terbang bebas di angkasa perkebunan teh Gunung Mas ….Bang Imad sering bilang bahwa kenapa manusia lebih tinggi di mata Allah dibandingkan makhluk lainnya? Kebebasan………….

Dua puluh tahun lamanya setelah kebebasan beliau saya tidak bertemu dengan bang Imad, karena saya mendengar beliau mendapatkan musibah penyakit yang menyerang otaknya yang konon membuat dia menangis sedih karena surat Al Fatihah saja dia gagal mengingatnya, padahal biasanya seluruh ayat dalam Al Qur’an beserta maknanya dia hapal. Sampai suatu ketika di tahun 98, Yusuf Miran, El 78 yang kebetulan menjadi kepala bagian di PLN proyek yang saya pimpin, membawa bang Imad ke ruang kerja saya untuk mengisi acara Isra Mi’raj di mesjid PLN. Selesai acara bang Imad bercerita bagaimana nyawanya diselamatkan Allah SWT setelah hampir semua dokter terbaik termasuk ahli otak di Jerman menyerah dan mengatakan bahwa penyakit bang Imad tidak mungkin disembuhkan. Bang Imad melanjutkan ceritanya setelah acara bahwa suatu hari tetangganya mengajak beliau untuk mencoba berobat kepada Nurul Yakin, mantan perawat di RS M Jamil Padang yang memperoleh berkah kepandaian untuk mengobati penyakit setelah dia sendir nyaris kehilangan nyawanya karena penyakitnya yang tak tersembuhkan. Awalnya dia sempat memaki-memaki Uun, panggilan Nurul Yaqin sebagai musyrik dan ngotot tidak mau mengikuti prosesi penyembuhan sampai akhirnya bang Imad mau mengikuti shalat Tahajud yang merupakan ritual utama model penyembuhan Uun yang berpraktek di sekitar Taman Galaxy, Bekasi Barat.

Singkat kata, akhirnya bang Imad berhasil disembuhkan dalam waktu singkat dan kembali bisa berdakwah termasuk memberikan ceramah pada setiap ritual meditasi bersama Uun yang pernah saya ikuti juga di Cipayung Puncak. Bang Imad berbisik lirih kepada saya bahwa apa yang dilakukan Uun adalah prinsip pengobatan yang digunakan Ibnu Sina yang mendiagnosa penyakit dengan prisma untuk melihat keseimbangan tubuh kita dari spectrum warna yang dipancarkan lewat aura kita. Uun sempat berbisik kepada saya bahwa bang Imad memiliki aura bersinar keemasan, tingkat tertinggi yang menyebabkan penyakit beliau bisa sembuh dalam waktu relative singkat.

…….Berita itu saya terima dari bang Ikhwan Iskak, El 71, sepuluh tahun kemudian……….bang Imad menemui sang Khalik di rumahnya di bilangan Klender tanpa adanya gelegar berita…….Kedahsyatan dakwahnya yang bertekad melahirkan kader-kader untuk membela keadilan dan kebebasan manusia, ternyata tidak banyak menggerakkan hati para muridnya yang sebagian bahkan telah mencapai puncak karir di negri ini, seperti mentri???……Don’t worry, Allah lah yang tidak mungkin meninggalkan abang yang luar biasa ini…………..

Banda Aceh, 17 Januari 2012
YSL

(Ternyata mencari dokumentasi foto Jend. Sudomo saat Pangkopkamtib sulit ya ...)





No comments:

Post a Comment